Pentingnya Meningkatkan Kapasitas Pengetesan COVID-19 di Indonesia untuk Memutus Mata Rantai Penularan

Content

Kapasitas pengetesan COVID-19 di Indonesia masih harus ditingkatkan untuk mencapai standar WHO. (Sumber gambar: Antara)

 

Kekhawatiran cuti bersama pada akhir bulan Oktober lalu akan membuat kasus COVID-19 melonjak karena tingginya mobilitas tampaknya belum terbukti. Pasca berakhirnya cuti bersama, angka penambahan jumlah kasus positif justru menunjukkan tren penurunan. KawalCOVID-19 mencatat penambahan 2.696 kasus pada 1 November lalu, diikuti 2.618 kasus pada 2 November, dan 2.973 kasus di tanggal 3 November. Angka ini turun dari rata-rata penambahan kasus pada bulan sebelumnya yang bisa mencapai 3-4 ribu kasus baru per harinya.

Tren penurunan jumlah kasus ini ternyata linear dengan penurunan jumlah pengetesan yang dilakukan per harinya. Pada 1 November hanya dilakukan pengetesan pada 23.208 spesimen, diikuti 26.661 spesimen pada 2 November, dan 29.928 spesimen pada 3 November lalu. Padahal, pada bulan Oktober, jumlah spesimen yang diperiksa berada pada kisaran 30-40 ribuan spesimen per harinya. Apakah hubungan antara jumlah pengetesan dengan penemuan kasus baru, dan bagaimana ini berkaitan dengan pengendalian wabah di Indonesia?

 

Pengetesan sebagai Pilar Penanganan COVID-19

Mendeteksi (test), melacak (trace), dan mengisolasi (isolate) kasus COVID-10 serta mengobati (treat) pasien COVID-19 adalah langkah-langkah yang direkomendasikan WHO kepada negara anggotanya untuk menghentikan penularan COVID-19. Dalam hal pengetesan, Indonesia selalu mendapatkan angka merah karena tidak berhasil mencapai standar yang ditetapkan WHO yaitu 1 per seribu populasi setiap minggunya dengan positive rate di bawah 5 persen. Pengetesan yang dimaksud di sini adalah tes usap dengan metode pengujian polymerase chain reaction (PCR), bukan tes cepat antibodi ataupun tes cepat antigen. Temuan ini sejalan dengan laporan Intra Action Review untuk Indonesia yang dikeluarkan WHO pada 25 Agustus 2020.

Seperti yang sudah diketahui, virus SARS-CoV-2 sangat mudah menular dari manusia ke manusia melalui droplets dan sebagian dari orang yang terjangkit COVID-19 tidak menunjukkan atau minim gejala. Namun, ketiadaan gejala bukan berarti mereka tidak dapat menulari lingkungan sekitarnya.

Di sini lah peran penting pengetesan. Bila seseorang sudah dites dan terkonfirmasi positif, otomatis akan ada tindakan medis dan pencegahan penularan yang dilakukan. Pasien terkonfirmasi akan melakukan karantina mandiri dengan pengawasan ketat tenaga kesehatan atau dirujuk ke rumah sakit. Tenaga kesehatan, dalam hal ini tenaga kesehatan puskesmas, juga akan melakukan pelacakan kasus pada lingkungan sekitar pasien untuk mengambil langkah pengamanan guna mencegah terjadinya penularan kepada lebih banyak orang.

Semakin banyak dan semakin cepat pasien konfirmasi ditemukan, maka semakin efisien pula penanganan serta langkah pencegahan bisa dilakukan. Tanpa adanya pengetesan yang masif, akan sulit memutus mata rantai penularan.

 

Kendala Pengetesan COVID-19 di Indonesia

Sejak awal pandemi hingga sekarang, Indonesia sempat mengalami periode peningkatan pesat kapasitas pengetesan. Bila di awal pandemi pemerintah hanya menargetkan pemeriksaan 10.000 spesimen per hari, Indonesia pernah memeriksa 50 ribu spesimen sehari dengan positive rate 9,75 persen pada 13 Oktober 2020. Tetapi prestasi ini tidak terulang kembali. Di bulan September, jumlah spesimen stabil di angka 30-40 ribuan tes sehari dengan positive rate tetap di atas 10 persen.

Prof. Wiku Adisasmito, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia sudah berhasil mencapai 82,51 persen dari target pengetesan WHO pada bulan Oktober. Ini merupakan prestasi yang patut dibanggakan karena pada bulan Juli 2020, Indonesia hanya mampu mencapai pemeriksaan 16,86 persen dari target WHO.

Menurut Wiku, salah satu tantangan dalam meningkatkan pengetesan adalah karena terjadi penurunan jumlah pengetesan setiap akhir minggu ataupun saat libur panjang. Tantangan lainnya adalah logistik pengiriman spesimen dan pelaporan hasil pemeriksanaan serta pendistribusian alat-alat penunjang seperti reagen, mesin PCR dan alat habis pakai.

Terkait dengan penurunan jumlah pengetesan di awal November, Kementerian Kesehatan mengklaim penurunan disebabkan tren kasus mulai membaik. Padahal, data dari WHO juga menunjukkan jumlah suspek COVID-19 meningkat dan memperlebar gap antara jumlah suspek dengan jumlah pengetesan. Ini berarti semakin banyak suspek COVID-19 yang tidak terlacak. Karena itu, para ahli kerap berpendapat pemerintah harus terus meningkatkan kemampuan pengetesan di Indonesia agar pandemi bisa lebih cepat terkendali.

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam seri ulasan kebijakan “Ada Apa Dengan Covid-19: Kapasitas Tes Sebagai Prasyarat Kesiapan Indonesia di Era Adaptasi Kebiasaan Baru” merekomendasikan beberapa langkah untuk meningkatkan kapasitas tes:

  1. Penerapan metode pooled testing (tes berkelompok) yang menggabungkan 6-10 sampel dalam satu pemeriksaan dengan satu reagen. Pengujian dengan metode ini akan lebih efektif pada populasi dengan tingkat infeksi yang masih rendah (co: <5%) dan pada populasi homogen, misal satu kantor atau satu rumah tangga (household pooled testing).
  2. Tingkatkan penggunaan tes usap antigen. Selain murah dan cepat, tes usap antigen tidak membutuhkan peralatan mahal dan tidak membutuhkan pelatihan rumit dalam penggunaannya.

 

Tentang CISDI

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah think tank yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.

 

Penulis

Ardiani Hanifa Audwina

674 Pengunjung
Share This!