Menunda Pilkada Kembali adalah Pilihan Terbaik untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat

Content

Di tengah upaya penanganan wabah yang belum maksimal, penundaan Pilkada sangatlah diperlukan. (Sumber gambar: Okezone)

Melalui Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020, pemerintah resmi melanjutkan penyelenggaraan pilkada serentak di 270 daerah pada 9-15 Desember 2020. Keputusan ini merupakan lanjutan dari penundaan pilkada sebelumnya yang seharusnya terlaksana pada 23 September lalu. Ketika itu, alasan penundaan ialah munculnya 45 daerah pilkada berzona merah ketika penyebaran kasus menanjak dengan pesat.

Situasi aktual terkini tidak menunjukkan kemunculan wilayah berzona merah yang padat. Setidaknya hingga 14 November, terdapat 18 Kabupaten/Kota berzona merah yang kelak menyelenggarakan pilkada. Alasan penyelenggaraan pilkada di awal Desember pun lantas didukung banyak pihak. Beberapa politisi dan pejabat publik menyebut, pilkada mampu mendorong calon kepala daerah menampilkan visi penanganan wabah yang tangguh.

Anggapan lain menyebut pilkada serentak dibutuhkan untuk mengisi kekosongan jabatan pemimpin daerah. Dari segi ekonomi, penyelenggaraan pilkada dianggap dapat memutar roda perekonomian daerah. Beberapa argumen tersebut, sayangnya mengabaikan aspek kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan massal. Ada beberapa preseden dan asumsi umum yang bisa mematahkan dukungan terhadap pelaksanaan pilkada ini.

Pertama, tidak pernah ada jaminan kepala daerah mampu mengusung visi penanganan wabah. Belum kering ingatan, pada September KPU menyebut 243 bakal calon kepala daerah melanggar protokol kesehatan. Alih-alih mempromosikan protokol kesehatan, dengan dana kampanye dan kekuasaan yang dimiliki mereka justru sangat berpotensi melanggar protokol kesehatan.

Kedua, kekosongan pemimpin daerah pun tidak akan terjadi lantaran masa tugas kepala daerah yang habis diatur melalui penunjukan pelaksana tugas (Plt) dan pejabat sementara (Pjs). Mendagri Tito Karnavian menyampaikan langsung uraian tersebut dengan mengacu Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.

Ketiga, pandemi COVID-19 jelas memukul stabilitas aspek perekonomian daerah. Alasan yang menyebut 60 persen anggaran pilkada akan digunakan oleh penyelenggara pilkada sangat tidak adil. Sebab, distribusi anggaran hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok masyarakat daerah. Seharusnya, stimulus ekonomi justru diberikan melalui bantuan sosial atau bantuan langsung yang integral sebagai strategi penanganan wabah.

Alasan Penundaan

Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi menampilkan situasi ketika hak untuk menyampaikan pilihan berbenturan dengan hak untuk kesehatan. Dalam ranah ini, hak untuk kesehatan perlu mendapat perhatian lebih, sebab ia berimplikasi pada persoalan-persoalan yang lebih luas, seperti ekonomi, politik, dan demokrasi itu sendiri. Di samping, pandemi itu sendiri merupakan peristiwa luar biasa yang berimplikasi pada krisis multidimensi. Singkatnya, kita perlu menunda pilkada. Namun mengapa?

Pertama, fondasi penanganan wabah belumlah kokoh dan tangguh. Indikasi itu terlihat dari masih minimnya kapasitas tes dan upaya lacak kasus. Laporan  KawalCOVID-19 per 17 November, menyebut rata-rata dalam waktu seminggu terdapat 34.319 orang melaksanakan tes. Jika disandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 268 juta orang, kapasitas tes baru mencapai 0,13 orang per 1.000 penduduk, jauh dari standar WHO sebesar 1 per 1.000 penduduk.

Selain itu, muncul persoalan ketimpangan tes, seperti dalam temuan LaporCOVID-19 September lalu disebutkan rasio tes DKI 3 kali hingga 227 kali lebih banyak dari daerah lain. Sementara, data KawalCOVID-19 juga menyebut rasio lacak dan isolasi Indonesia berada pada angka 1,88 atau kurang dari dua orang per satu kasus positif, jauh dari rekomendasi WHO 30 orang per satu kasus positif.

Kedua, peluang penundaan pilkada memiliki dasar hukum yang jelas. Perppu Pilkada Nomor 2 Tahun 2020 mengatur mekanisme penundaan pilkada. Pasal 122 ayat (2), secara eksplisit menyebut pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. Sedangkan, pandemi COVID-19 adalah bencana yang dimaksud dalam Perppu ini.

Ketiga, penundaan pilkada pun merupakan pilihan yang sangat rasional dan masuk akal. Dalam banyak percakapan, Korea Selatan kerap ditempatkan sebagai negara yang sukses menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi. Kendati demikian, data dari International Foundation of Electoral System menyebut   111 pemilihan dan referendum di 65 negara ditunda dikarenakan pandemi COVID-19 (IFES:2020). Beberapa negara dengan indeks demokrasi yang baik, seperti Kanada, Jerman, Prancis, dan Australia bahkan menunda pemilihan hingga pertengahan tahun 2021 atau waktu yang tidak ditentukan.

Penting memahami bahwa rentang waktu pelaksanaan Pilkada sangatlah panjang. Berbagai dasar argumen mendukung Pilkada Desember nanti tak mampu menutupi preseden buruk penanganan wabah. Wabah masih berlangsung dan ia bisa menyebar pada wilayah pemungutan suara dengan leluasa. Pada titik ini, pemerintah perlu memahami bahwa penundaan Pilkada berakar pada semangat melindungi kesehatan masyarakat, alih-alih upaya menolak praktik demokrasi.

 

Penulis

Amru Sebayang

754 Pengunjung
Share This!