4 Pertimbangan untuk Sukseskan Program Vaksinasi Booster

Pemerintah perlu memperhatikan pemerataan akses vaksin di tengah pelaksanaan program vaksinasi booster nasional. (Sumber gambar: Setkab.go.id)
Jakarta, 19 Januari 2022 – Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi memberikan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/UEA) untuk 5 jenis vaksin COVID-19 sebagai booster. Kelima vaksin yang dimaksud ialah CoronaVac, Pfizer, AstraZeneca, Moderna, dan Zififax.
Sejalan dengan itu, per 12 Januari 2022 pemerintah juga telah menggulirkan program vaksinasi booster gratis kepada seluruh masyarakat Indonesia dengan klasifikasi booster heterolog dan homolog. Untuk booster homolog ialah CoronaVac, Pfizer, AstraZeneca. Sementara, vaksin Moderna tergolong homolog dan heterolog, sedangkan Zififax tergolong heterolog.
Kelompok prioritas penerima vaksin adalah orang lanjut usia dan penderita gangguan imun. Jenis vaksin booster yang akan diberikan petugas kesehatan didasarkan riwayat vaksinasi dosis satu dan dua pasien dan ketersediaan vaksin di tempat pelayanan itu sendiri.
Kelompok prioritas penerima dapat mengecek tiket dan jadwal vaksinasi di website dan aplikasi PeduliLindungi. Dalam keterangannya, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyatakan program booster bertujuan melindungi kelompok lansia serta memitigasi penyebaran varian Omicron yang telah memasuki Indonesia.
Kendati upaya pemerintah patut diapresiasi, terdapat beragam catatan yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan program booster, khususnya kepada kelompok rentan yang mungkin masih alami kesulitan akses vaksin dosis satu ataupun dua. Lantas, hal apa saja yang perlu pemerintah perhatikan terkait kebijakan ini?
Pertama, pemerintah perlu mengupayakan kesetaraan akses vaksin di setiap wilayah di Indonesia. Vaksinasi COVID-19 memang kerap dianggap upaya paling efektif mencegah keparahan infeksi. Namun, hal itu terjadi bila vaksinasi diberikan secara merata kepada semua kelompok masyarakat dan dalam dosis yang tepat. Faktanya, hingga hari ini masih terjadi ketimpangan pendistribusian dosis vaksin yang menggambarkan ketimpangan sosial dan ekonomi di beberapa wilayah di Indonesia
Berdasarkan dashboard vaksinasi Kemenkes RI pada 16 Januari 2022, sebagai contoh, capaian vaksinasi dosis pertama DKI Jakarta telah melebihi target di angka 146,4%, jauh di atas angka rata-rata nasional di angka 84,79%. Di sisi lain, pencapaian vaksinasi di Papua ataupun Papua Barat berada di urutan paling bawah dengan masing-masing 29,4% dan 54,72%.
Selain itu, praktik pelaksanaan vaksinasi masih menjadi persoalan. Komunitas warga LaporCOVID-19 menyebut setidaknya terdapat 308 laporan kendala warga dalam program vaksinasi. Laporan yang terkumpul dari Agustus hingga 13 Desember 2021 itu mengkompilasi beragam tantangan akses vaksin, mulai dari kesulitan mendaftar hingga minimnya informasi ketersediaan vaksin.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memperjelas strategi pencapaian cakupan vaksinasi dosis lengkap pada 70-80% populasi untuk melindungi sebanyak mungkin masyarakat.
Kedua, mengupayakan penjangkauan masyarakat rentan yang kesulitan mendapat vaksin. Dashboard vaksinasi Kemenkes RI masih menggabungkan kelompok masyarakat rentan dan umum, tanpa merincikan kerentanan yang dimaksud.
Dalam laporan bersama, CISDI dan PUSKAPA mengidentifikasi 13 kelompok rentan yang alami kesulitan mengakses vaksin berdasarkan karakteristik kerentanan dan hambatan mendapat vaksin. Kerentanan selama pandemi bersifat dinamis. Mereka yang alami kerentanan ekonomi, sosial, ataupun budaya menghadapi lebih banyak kesulitan selama pandemi, sehingga semakin membutuhkan perhatian pemerintah, terutama melalui program vaksinasi nasional.
CISDI dan PUSKAPA mengkompilasi lima jenis hambatan vaksinasi bagi kelompok rentan, yakni hambatan administrasi, finansial, infrastruktur, akses ke informasi, dan hambatan sosial dan perilaku. Situasi ini seharusnya menjadi dasar pemerintah mempercepat proses penjangkauan vaksinasi dua dosis pertama bagi kelompok rentan. Upaya ini bisa dilakukan melalui kolaborasi antara puskesmas, organisasi masyarakat sipil, hingga komunitas yang kerap terlibat dalam pendampingan hak masyarakat rentan.
Ketiga, memperjelas strategi pemerataan dosis vaksin dan vaksinasi dosis ketiga. Terdapat kesenjangan kapasitas distribusi dan pelayanan vaksinasi antara wilayah perkotaan dengan perdesaan, antara wilayah Jawa dengan non-Jawa ataupun wilayah barat dengan wilayah timur.
Situasi ini diperparah minimnya transparansi informasi distribusi vaksin pertama dan kedua. Sementara di saat bersamaan, muncul varian Omicron yang menyebar cepat. Berdasarkan rekomendasi SAGE WHO, pemberian dosis ketiga (booster) memang dibutuhkan untuk mencegah penyebaran varian yang dikhawatirkan (variants of concern).
Namun, pemberiannya perlu dilandasi bukti ilmiah terkait penurunan kekebalan dan perlindungan klinis, berkurangnya efektivitas vaksin, serta memprioritaskan kelompok rentan, seperti lansia atau pasien dengan gangguan imunitas.
Keempat, mengoptimalkan peran puskesmas dalam program booster nasional. Optimalisasi puskesmas perlu dilakukan dibarengi transformasi pelayanan kesehatan primer. Upaya ini juga mencakup peningkatan anggaran, sumber daya manusia, dan regulasi untuk penguatan peran puskesmas.
Transformasi ini akan menguatkan sistem kesehatan nasional dan menjadikan pelayanan kesehatan primer lebih tangguh setelah pandemi. Terlebih, puskesmas merupakan garda terdepan yang memiliki sumber daya dalam memperkuat kapasitas kesehatan di level komunitas melalui kader dan posyandu.
Keberadaan puskesmas juga sangat membantu proses penjangkauan dan identifikasi kelompok rentan dalam respons penanganan wabah, seperti lacak kasus ataupun vaksinasi.
Di tengah gelombang kenaikan kasus akibat varian Omicron, program booster memang diperlukan. Program ini akan lebih efektif dan berjalan optimal jika pemerintah memperhatikan empat pertimbangan penting di atas demi menjangkau seluruh masyarakat secara adil dan merata.
Tentang CISDI
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah think tank yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.
Penulis
Amru Sebayang