Berantakan Karena Pandemi: Ke Mana Arah Pembangunan Kesehatan Kita?

Content

Pandemi COVID-19 menyebabkan sistem kesehatan kewalahan, meski begitu ada beberapa pelajaran yang bisa diambil. (Sumber gambar: Antara)

Sulit menyebut pandemi tidak mengguncang sistem kesehatan kita. Sedari awal pengumuman kasus pertama pada Maret lalu, muncul beragam pertanyaan. Berapa lama pandemi akan berlangsung? Sejauh apa sistem kesehatan siap menghadapinya? Berapa banyak korban yang, dengan atau tanpa pertolongan, meninggal dikarenakan infeksi COVID-19?

Jawaban atas pertanyaan itu berangsur-angsur terjawab dan kebanyakan menyatakan hal tidak menyenangkan. Kurva pandemi terus bergerak naik dalam sembilan bulan ke belakang. Sistem kesehatan koyak dan banyak pelayanan kesehatan, rumah sakit, klinik, ataupun puskesmas, lumpuh. Serta tidak lupa, lebih dari 18.000 orang, termasuk di antaranya tenaga kesehatan, meninggal karena wabah.

Lebih luas dari itu, pandemi juga menggeser prioritas pembangunan kesehatan lain. Sebagai contoh, pandemi secara tiba-tiba membuat layanan kesehatan esensial seperti pelayanan bagi ibu hamil, bayi dan balita, serta penyakit tidak menular terhenti akibat diberlakukannya upaya menekan laju infeksi. Hal ini berdampak pada, angka stunting di Indonesia masihlah tinggi ketika di saat bersamaan beban TBC di Indonesia menempati nomor dua terbesar di dunia. Sementara, prevalensi penyakit tidak menular, seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan stroke, perlahan-lahan meningkat setiap tahunnya.

Dengan demikian, pantas mengatakan, betapapun pandemi ini terselesaikan dengan beragam dampak kesehatan yang mengikutinya, ada tugas besar lain untuk membenahi sistem kesehatan. Pertanyaan besarnya, dari mana kita perlu memulai? Apa peluang yang kita miliki dan bisa dimanfaatkan pada saat hingga selesainya pandemi ini?

Peluang

Pertama, pentingnya menguatkan layanan kesehatan primer. Pandemi COVID-19 menimbulkan krisis multidimensi. Pada sektor kesehatan ia memberatkan segala bentuk operasionalisasi pelayanan. Dalam kasus Indonesia, rumah sakit dan klinik yang ditempatkan sebagai pelayanan kesehatan sekunder justru mengalami penumpukan pasien, kekurangan Alat Pelindung Diri (APD), hingga kematian tenaga kesehatan.

Potensi kerusakan ini bisa dicegah dengan memaksimalkan peran puskesmas sebagai layanan kesehatan primer. Berdasarkan alasan kehadirannya, puskesmas memiliki kapasitas dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Belum lagi, untuk mencapai cakupan kesehatan semesta, puskesmas adalah kunci pemerataan akses kesehatan. Dalam menangkal wabah, puskesmas mampu menjadi titik simpul pelacakan kasus sekaligus mengomandoi gerak relawan kesehatan daerah.

Pengembangan kapasitas tenaga kesehatan, penyediaan APD yang memadai, hingga peningkatan fasilitas kesehatan puskesmas adalah hal krusial. Puskesmas yang kuat mampu menerjang badai pandemi. Namun nahasnya, kondisi ini belum tercapai lantaran temuan survei CISDI, KawalCOVID19, dan Cek Diri menyingkap banyaknya puskesmas yang menutup pelayanan esensial selama periode pandemi. Padahal, layanan-layanan puskesmas berperan penting untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, menjaga status gizi masyarakat, mencegah penyakit, hingga mendorong perilaku hidup sehat.

Kedua, menguatkan kepemimpinan politik dan kerja sama lintas sektor. Dengan dasar pembangunan kesehatan adalah pilihan politik, pandemi menuntut kepemimpinan yang tangguh. Namun faktanya, pada periode pandemi kepentingan ekonomi kerap lebih didahulukan dari kesehatan. Padahal, jika menilik lebih lanjut kokohnya pembangunan kesehatan mampu mengungkit pencapaian dalam sektor-sektor lain, seperti pendidikan, politik, dan ekonomi itu sendiri.

Komitmen pemerintah berkoordinasi lintas sektor antar lembaga dan kementerian selama pandemi patut diapresiasi. Sebagai contoh, implementasi pembatasan jarak menuntut kerja sama Kementerian Perhubungan, Kepolisian RI, dan Kementerian Kesehatan. Di sisi lain, upaya pengadaan vaksin melibatkan koordinasi Kementerian BUMN, Kementerian Luar Negeri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Kesehatan.

Prinsip saling berkoordinasi dan bekerja sama dengan tujuan kebijakan harmonis perlu selalu dijaga. Dalam hal pembangunan kesehatan hal serupa penting diterapkan. Upaya untuk mengungkit status gizi, sebagai contoh, menuntut komitmen mengatur kadar gula, garam, maupun lemak dalam produk konsumsi di satu lembaga dengan gerakan promosi hidup sehat di lembaga lain.

Upaya pencegahan penyakit kronis, seperti kanker dan hipertensi, juga memerlukan arah koordinasi dan strategi yang terintegrasi. Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi perokok pemula yang tinggi dan mampu memicu penyakit kronis di masa depan. Upaya pengendalian tembakau, dengan demikian, perlu ditempatkan dalam satu jalan bersama antar lembaga dan kementerian untuk memastikan capaian kesehatan selaras dengan ekses upaya pengendalian tembakau.

Ketiga, meningkatkan kolaborasi dengan masyarakat sipil. Selama pandemi perlu diakui masyarakat sipil yang terdiri atas sektor swasta, peneliti, pakar, dan media mengambil peran-peran strategis. Mereka terlibat, mulai dari menyiapkan supply kebutuhan medis, merancang strategi penanganan wabah daerah, serta memfasilitasi informasi publik terkait COVID-19.

Termasuk dari itu, sikap kritis, tanggapan, dan masukan terhadap kinerja pemerintah adalah bentuk kepedulian mereka. Dalam pembangunan kesehatan, masyarakat sipil harus terlibat lebih dalam dan aktif. Sektor swasta bisa menjadi penyedia supply kebutuhan ataupun fasilitas kesehatan. Sektor media bertugas memfasilitasi informasi publik bermanfaat dan berkualitas. Sementara, LSM maupun sektor akademik berfungsi menyediakan tanggapan dan hasil riset sebagai rekomendasi pembangunan kesehatan.

Peran krusial masyarakat sipil memiliki faktor pemungkin melalui PP No 59 Tahun 2017. Peraturan ini memungkinkan masyarakat sipil terlibat dalam aksi-aksi pembangunan bersama pemerintah secara sah. Menimbang potensi keragaman masyarakat sipil, dari sektor kesehatan maupun non-kesehatan, peluang ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Pada akhirnya, pandemi tidak hanya menghentikan setiap langkah pembangunan kesehatan, ia bahkan memukul mundur setiap capaian. Namun, krisis pembangunan kesehatan di kala wabah perlu menjadi catatan bersama. Sebagai upaya mengokohkan kembali sistem kesehatan pada saat dan setelah pandemi, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives akan meluncurkan dokumen rekomendasi kebijakan Health Outlook 2021 bertajuk Disrupsi Covid-19 pada Layanan Kesehatan Esensial dan Dampak-dampak yang Ditimbulkan.

Rekomendasi kebijakan  yang akan diluncurkan pada 17-18 Desember 2020 ini diharapkan menjadi rujukan pemangku kebijakan untuk merencanakan pembangunan kesehatan ke depan. Dengan menyatakan kesehatan adalah hak seluruh warga negara, catatan ini akan menyingkap lubang yang disebabkan pandemi dalam pembangunan kesehatan, sekaligus menyediakan saran, kritik, dan masukan untuk perbaikan di masa depan. Karena pandemi, tidak sepantasnya,  membuat sistem kesehatan berantakan.

Pantau terus dokumen kebijakan ini melalui situs www.cisdi.org, Instagram @CISDI_ID dan Twitter @CISDI_ID.

 

Tentang CISDI

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah think tank yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.

 

Penulis

Amru Sebayang

966 Pengunjung
Share This!