Menguatkan Upaya Pencegahan Sangat Penting, Meski Vaksin Bisa Segera Didistribusikan

Content

Upaya pencegahan penularan COVID-19 tetap dibutuhkan, sekalipun vaksin telah tersedia dan bisa didistribusikan massal. (Sumber gambar: Shutterstock)

WHO memelopori jargon penanganan wabah berbunyi, ‘tidak ada seorang pun yang aman hingga setiap orang benar-benar aman’. Pernyataan itu menegaskan pesan pandemi harus dihadapi dengan solidaritas, tanpa meninggalkan satu orang pun. Prinsip ini berlaku juga dalam proses pengembangan dan produksi vaksin yang tengah dilaksanakan pemimpin-pemimpin dunia.

WHO dalam laman resminya menyebut, vaksinasi merupakan upaya sederhana, aman, dan efektif untuk melindungi manusia dari penyakit berbahaya dengan melatih sistem imun untuk membentuk antibodi ketika bertemu virus. Pada periode pandemi, vaksinasi jelas dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi kesehatan individu, tetapi juga komunitas.

Untuk itu, melalui inisiatif bersama organisasi internasional Gavi dan CEPI (Koalisi Inovasi Persiapan Pandemi), WHO mengembangkan pilar kolaborasi percepatan penemuan dan distribusi vaksin merata bernama COVAX. Pertanyaannya, apa yang pilar kolaborasi ini lakukan? Apa signifikansinya terhadap upaya vaksinasi di Indonesia?

COVAX

Pada akhir April 2020, WHO bersama beberapa lembaga meluncurkan kolaborasi global penanganan pandemi global bernama The Access to COVID-19 Tools (ACT) Accelerator. Kolaborasi global ini bertujuan meningkatkan pengembangan, produksi, dan akses terhadap tes, obat, dan vaksin dalam menghadapi COVID-19. COVAX adalah salah satu pilar ACT dalam upaya penemuan dan distribusi vaksin secara merata. COVAX melabeli diri sebagai satu-satunya aliansi yang berupaya memastikan setiap manusia di muka bumi dapat mengakses vaksin COVID-19, terlepas dari tingkat kesejahteraan mereka.

Untuk mewujudkan hal itu, COVAX berperan sebagai unit yang mendukung kegiatan riset dan produksi vaksin, serta menegosiasikan harganya di pasar global. Target pertama proyek ini ialah menyediakan dua miliar dosis vaksin hingga akhir tahun 2021. Jumlah tersebut dianggap cukup untuk melindungi kelompok-kelompok rentan termasuk tenaga-tenaga kesehatan.

Dalam hal distribusi, COVAX mengupayakan negara-negara dengan pemasukan rendah dapat mengakses vaksin. Hal ini juga berlaku untuk negara-negara yang tidak mengikat hubungan bisnis dengan produsen vaksin tertentu. Hingga hari ini COVAX mendata setidaknya 170 kandidat vaksin yang sembilan di antaranya tengah memasuki pengembangan tahap lanjut. COVAX memiliki sistem keanggotaan yang terdiri atas negara-negara dunia. Kabar terakhir, sebanyak 184 negara telah bergabung dalam COVAX. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan kemudahan memeroleh vaksin dengan kuantitas yang telah disepakati.

Dalam kasus Indonesia, perwakilan Kementerian Luar Negeri menyebut, pemerintah bisa mendapatkan subsidi harga vaksin COVID-19 melalui COVAX. Keanggotaan Indonesia dalam aliansi COVAX tergolong dalam kategori Advance Market Commitment, pool penggalangan dana untuk negara dengan pendapatan menengah ke bawah, sehingga dianggap layak memperoleh harga vaksin lebih murah dibandingkan negara lain. Namun demikian, dalam keterangan yang sama disebutkan, COVAX hanya akan memfasilitasi 20% vaksin dari total populasi Indonesia.

Indonesia

Bergabung dengan COVAX hanyalah salah satu cara untuk mendapatkan akses terhadap vaksin. Di luar itu, pemerintah Indonesia juga tengah mengupayakan pembelian vaksin melalui hubungan dagang bilateral. Sejauh ini kandidat vaksin Sinovac telah melalui uji klinis tahap tiga.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito bahkan menyebut izin edar penggunaan darurat vaksin ini bisa muncul pada minggu ketiga atau keempat Januari 2021. Di sisi lain, pemerintah juga tengah menyiapkan tahapan distribusi vaksin. Kementerian Kesehatan telah ditugaskan mendefinisikan, mengkoordinasikan, dan memonitor program vaksinasi melalui serangkaian tahapan, mulai dari proses pengadaan, alokasi, hingga pelaporan dan integrasi.

Sementara, pendataan vaksinasi COVID-19 juga akan mengandalkan integrasi berbagai sumber data dan aplikasi ke dalam satu sistem data terintegrasi. Intinya, dari segi produksi, distribusi, dan integrasi, pemerintah Indonesia terbilang mengambil ancang-ancang serius mengupayakan vaksinasi massal. Namun, hal itupun belum cukup.

Puskesmas

Kendati menyebut vaksin sebagai ‘upaya efektif’, WHO tidak pernah sekalipun mendorong atau merekomendasikan negara-negara dunia mengabaikan upaya pencegahan. Sebaliknya, WHO justru menekankan masyarakat dunia untuk tidak bergantung kepada vaksin dan terus melaksanakan upaya pencegahan. Sayangnya, pemerintah Indonesia tampak belum memerhatikan hal ini dengan serius.

Hal ini bisa diukur dari keseriusan pemerintah menguatkan puskesmas sebagai simpul utama penanganan pandemi. Data temuan CISDI, KawalCOVID-19, dan Cek Diri menyebutkan 45,4% puskesmas responden belum mendapatkan pelatihan pengendalian dan pencegahan infeksi di layanan masing-masing. Di samping itu, diketahui 62% puksemas responden tidak memiliki SOP penggunaan APD untuk pelayanan pada masa pandemi.

Kondisi perlindungan tenaga kesehatan juga menyedihkan. Diketahui sekitar 63% responden memerlukan masker N95, 43% yang lain membutuhkan gaun medis, dan 40% lainnya membutuhkan masker bedah. Padahal, penguatan upaya pencegahan perlu dimulai dari tenaga kesehatan, dikarenakan mereka adalah pelaku utama upaya pencegahan dalam masyarakat.

Survei ini juga menyebut, 96% puskesmas telah melaksanakan pelacakan kasus. Namun demikian, diketahui 47% puskesmas responden hanya memiliki pelacak kasus (tracer) di bawah 5 orang. Survei ini lebih lanjut menunjukkan 47% puskesmas melacak kurang dari 5 kontak per 1 kasus positif, jauh dari rekomendasi WHO 30 kontak per kasus. Di sisi lain, masih banyak temuan lain yang menampilkan urgensi penguatan puskesmas sebagai simpul pencegahan wabah.

Tampak jelas, upaya produksi vaksin berbanding terbalik dengan komitmen pencegahan wabah, salah satunya melalui penguatan puskesmas. Kendati merupakan solusi praktis, vaksin tidak pernah menjadi satu-satunya solusi penanganan wabah. Upaya menghadapi wabah perlu dilaksanakan dengan pendekatan berbasis sistem: kuatkan peran puskesmas, tingkatkan kapasitas tes, dan upayakan pelacakan tes sebanyak-banyaknya. Tanpa menyadari hal itu, penemuan vaksin hanyalah upaya jangka pendek untuk menghalau badai pandemi.

 

Penulis

Amru Sebayang

771 Pengunjung
Share This!