Seberapa Penting Komunikasi Risiko Pemerintah dalam Menghadapi Pandemi COVID-19?

Content

Siaran pers yang disampaikan Menteri Kesehatan Baru Budi Gunadi Sadikin adalah salah satu bentuk komunikasi risiko pemerintah. (Sumber gambar: Antara)

Memasuki tahun baru 2021, masih kabur dalam penglihatan titik usai pandemi COVID-19, baik di dunia maupun di Indonesia. Di Indonesia, pemerintah telah membuat beberapa keputusan penting penanganan wabah, paling anyar adalah penunjukan Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan baru menggantikan Terawan Agus Putranto.

Menarik melihat pada periode awal kepemimpinan, Menteri Budi begitu gencar memberikan keterangan publik. Sejak dilantik pada 29 Desember 2020 lalu, Kementerian Kesehatan setidaknya telah menyampaikan dua kali keterangan pers. Keterangan pertama yang disampaikan Menteri Budi secara detail mengulas persoalan vaksinasi dan kondisi aktual penanganan wabah di Indonesia. Lantas, poin-poin apa saja yang perlu kita cermati?

Empat Poin

Setidaknya, terdapat empat poin penting dalam siaran pers 29 Desember lalu itu. Pertama, perihal ketersediaan vaksin. Menteri Budi menjelaskan target vaksinasi akan menyasar penduduk usia 18 tahun ke atas dengan total 188 juta orang untuk membangun herd immunity atau kekebalan kawanan. Melalui upaya bilateral dan multilateral pemerintah berupaya mengamankan 426 juta vaksin untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Kedua, perihal perencanaan vaksinasi. Upaya vaksinasi atau imunisasi akan dimulai pada rentang Januari 2021 hingga Maret 2022 dan terbagi dalam empat gelombang. Gelombang pertama akan ditujukan kepada sekitar 1,3 juta tenaga kesehatan dan pada gelombang setelahnya akan ditujukan untuk 17,5 juta petugas publik serta 21,5 juta lansia.

Di luar vaksinasi, poin ketiga menjelaskan potensi lonjakan kasus pasca libur panjang. Menteri Budi mengimbau masyarakat tidak melakukan mobilitas sosial aktif, terutama pada 10-14 hari pasca libur panjang. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan keterisian tempat tidur dan ICU beberapa rumah sakit telah mencapai 70 persen sehingga berpotensi melebihi kapasitas ketika infeksi masif terjadi.

Keempat, Menteri Budi menjelaskan perihal kehadiran tren COVID-19 baru. Dalam keterangannya, Menteri Budi menyebut varian virus ini lebih cepat menyebar, namun tidak lebih mematikan dari COVID-19 asal. Ia juga menggarisbawahi virus ini bisa dideteksi melalui alat yang telah tersedia, seperti antigen atau tes PCR.

Banyak orang mengapresiasi pernyataan Menteri Budi, dikarenakan ia menaruh porsi besar tentang vaksinasi dalam pernyataan publik pertamanya. Di lain sisi juga, ia berani menyatakan temuan atau bukti-bukti baru perkembangan virus SARS-COV-2. Meski pahit, keterbukaan komunikasi ini menjadi langkah awal untuk menggugah tingkat kewaspadaan masyarakat yang terlanjur menurun.

Dalam kondisi wabah, pernyataan pejabat publik adalah salah satu bentuk komunikasi risiko yang paling efektif mencegah keadaan memburuk. Lantas, apa yang dimaksud dengan komunikasi risiko? Seberapa penting ia dalam penanganan wabah?

Komunikasi Risiko

WHO menjelaskan komunikasi risiko sebagai pertukaran informasi, saran, ataupun opini antara ahli dengan orang yang menghadapi ancaman kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Tujuan utama komunikasi risiko adalah memungkinkan publik mengambil keputusan terbaik untuk melindungi diri sendiri dan lingkungan sekitar.

Adapun, terdapat dua isu besar yang mempengaruhi keberhasilan komunikasi risiko. Isu pertama, terkait dengan persepsi risiko. Dalam konteks wabah, pemerintah perlu memahami persepsi ahli maupun publik terhadap wabah berbeda. Ahli menilai wabah berdasarkan tingkat keparahan terhadap populasi terdampak.

Publik sebaliknya, memahami bahaya wabah berdasarkan emosi kolektif, seperti perasaan takut, marah, ataupun kesal, terhadap wabah. Beberapa ahli menyebut emosi publik terpengaruh beberapa hal, seperti tingkat kebaruan wabah, pengaruh wabah terhadap masa depan, dan juga tingkat kematian yang dihasilkan wabah.

Isu kedua, terkait dengan kepercayaan publik terhadap informasi dan instansi yang menyampaikan. Berkaca pada penanganan Ebola pada 2014 lalu, ahli menilai fakta saja tidak cukup mempengaruhi perilaku dan keputusan publik. Ahli-ahli berpendapat, faktor-faktor seperti kejujuran, niat, dan dedikasi pemerintah lebih menentukan sebuah informasi diterima. Singkatnya, membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah sangat penting dalam komunikasi risiko.

Dalam konteks persoalan wabah di Indonesia beberapa waktu ke belakang, persoalan persepsi risiko dan kepercayaan terhadap pemerintah selalu bermasalah. Dari segi persepsi, pemerintah kerap mengambil keputusan yang tidak berbasis data, abai terhadap masukan ahli, dan tidak konsisten.

Keputusan untuk membuka perekonomian kembali di beberapa daerah, sebagai contoh, tidak memperhitungkan aspek kesiapan penanganan wabah, seperti kapasitas tes, kesiapan pelayanan kesehatan, hingga penelusuran lacak kasus. Kehadiran masa adaptasi kehidupan baru dengan demikian hanya dianggap pelaksanaan kehidupan dengan protokol kesehatan semata, bukan sebagai bagian penting penanganan wabah yang mampu menyelamatkan banyak nyawa.

Dari segi kepercayaan, komando penanganan wabah kerap berganti-ganti. Beberapa keputusan juga kerap berbenturan antara satu lembaga dengan lembaga lain. Situasi ini menunjukkan ada ketidaksepakatan antar-instansi dalam penanganan wabah dan sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan publik.

Langkah Lanjutan

Langkah Menteri Budi menyampaikan siaran pers perlu dibaca dalam kerangka komunikasi risiko. Dari sisi positif, terdapat beberapa pernyataan yang jujur menyampaikan keterbatasan pelayanan kesehatan. Selain itu, terdapat imbauan mencegah mobilitas massal untuk mencegah potensi lonjakan kasus.

Meski demikian, sebagian besar isi siaran pers tersebut menekankan proses sosialisasi vaksin. Program vaksinasi bagaimanapun diarahkan untuk membangun herd immunity atau kekebalan komunitas sehingga tidak bisa dianggap sebagai solusi jangka pendek dan menengah penanganan wabah.

Sesuai rekomendasi CISDI, upaya penanganan wabah perlu dititikberatkan melalui, salah satunya, penguatan pelayanan kesehatan primer, seperti puskesmas. Pemerintah seharusnya juga dapat menyampaikan sejauh apa peran puskesmas dalam menangani wabah.

Publik perlu mengetahui, apakah puskesmas memiliki peran dalam program vaksinasi? Seberapa penting peran mereka dalam menangani wabah? Dan apakah mereka juga mengalami keterbatasan fasilitas dalam penanganan wabah? Informasi ini penting untuk memastikan publik memanfaatkan peran puskesmas semaksimal mungkin, sekaligus mencegah publik menurunkan kewaspadaan karena kehadiran vaksin.

Unduh dan simak uraian lengkap perihal tersebut dalam dokumen Health Outlook 2021 melalui tautan ini!

 

Tentang CISDI

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah think tank yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.

 

Penulis

 

Amru Sebayang

822 Pengunjung
Share This!