Kamar Rumah Sakit Penuh Sepanjang Pandemi Covid-19 Bukan Pernyataan yang Mengada-ada

Content

Pemerintah perlu bertindak mengantisipasi kamar rumah sakit penuh selama pandemi, dikarenakan penumpukan pasien Covid-19. (Sumber gambar: Antara)

Pada 15 Januari lalu, LaporCovid-19 dan CISDI mengeluarkan siaran pers mengenai kondisi genting layanan kesehatan Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Berdasarkan temuan, kedua lembaga tersebut menyatakan layanan kesehatan menunjukkan tanda-tanda kolaps sejak September 2020.

Diperkirakan sejak pertengahan November 2020, dikarenakan pilkada serentak serta libur natal dan tahun baru, rumah sakit kesulitan menampung pasien. Karenanya, berita mengenai kamar rumah sakit penuh dan tidak mampu menampung pasien santer terdengar. Pertanyaan besarnya, apakah hal ini merupakan kebetulan semata atau memang terjadi di banyak tempat dan kesempatan?

Bukan Kebetulan 

Pada pertengahan Desember 2020 lalu, rumah sakit rujukan Covid-19 di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, mengalami peningkatan pasien drastis. Kondisi ini mendorong pemerintah setempat membuka rumah sakit darurat. Serupa di Jombang, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo perlu menolak kedatangan pasien Covid-19 dari RS rujukan lain.

Temuan lain menyebut sejumlah rumah sakit rujukan Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur, mengalami kelebihan kapasitas pasien Covid-19 sejak akhir 2020. Imbasnya, pada awal 2021 sejumlah rumah sakit tidak bisa menerima pasien baru Covid-19.

Di Jawa Tengah, mayoritas rumah sakit rujukan pasien Covid-19 penuh. Kondisi ini menyulitkan pasien mendapatkan kamar, perawatan layak, dan tidak jarang memicu kematian. Beberapa catatan menyebut RS Pembina Kesejahteraan Umat Muhammadiyah dan RSUD Panembahan harus menutup IGD, dikarenakan banyaknya pasien.

Laporan Majalah Tempo (17/1) menyebut tingkat keterisian ranjang di Ibu Kota telah mencapai 87 persen. Sebelumnya, pada Selasa (5/1) Juru Bicara Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyatakan tingkat keterisian ruang isolasi dan ICU pasien telah mencapai 70 persen. Kondisi itu terjadi di Jakarta, Banten, Yogyakarta, Jawa Barat, Tengah, dan Timur, serta Sulawesi Tengah, Barat, dan Selatan.

Bed Occupancy Rate

Keterisian kamar atau ruang isolasi dikenal dengan istilah bed occupancy rate (BOR). Indikator ini merupakan ukuran yang menampilkan tinggi ataupun rendahnya penggunaan tempat tidur di rumah sakit. Adapun, BOR dihitung melalui persentase penggunaan tempat tidur di suatu rumah sakit dalam kurun waktu tertentu.

Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir menjelaskan, BOR di rumah sakit rujukan Covid-19 nasional di rumah sakit vertikal jajaran Kemenkes per Sabtu (16/1) mencapai 66 persen. Sementara, kapasitas tempat tidur Covid-19 adalah 79.682.

Dalam catatan lain (18/1), Abdul menyebut BOR DKI Jakarta dan DI Yogyakarta telah mencapai BOR di atas 80 persen. Lebih rinci, DKI Jakarta memiliki BOR 83,14 persen, sedangkan Yogyakarta sebesar 84,79 persen. Mendekati angka serupa, Banten memiliki BOR mencapai 79 persen. Wilayah seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali berturut-turut memiliki BOR mencapai 68, 73, 68, dan 60 persen.

Beberapa wilayah memiliki BOR di bawah 60 persen. BOR Sumatera Utara, sebagai contoh, mencapai angka 49 persen. Sumatra Barat dan Sumatera Selatan memiliki BOR masing-masing mencapai 49 dan 40 persen. Di luar pulau Sumatra, Maluku dan Sulawesi Utara memiliki BOR masing-masing mencapai 23 dan 56 persen.

Kematian Nakes

Keterisian tempat tidur rumah sakit bisa menyebabkan sistem kesehatan lumpuh. Kondisi ini terjadi ketika jumlah pasien yang dirawat bertumpuk dan tenaga kesehatan tidak mampu memberikan pelayanan maksimal. Selain menyebabkan banyak pasien tidak terlayani, kondisi ini bisa memicu tenaga kesehatan kelelahan hingga mengalami kematian.

Pada awal Januari, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut kematian tenaga kesehatan di Indonesia tertinggi se-Asia dan kelima terbanyak di dunia. Tren kematian nakes meningkat konsisten sejak wabah pertama kali muncul di Indonesia.

Pusara Digital LaporCovid-19 pada 15 Januari lalu mencatat 620 tenaga kesehatan gugur, dikarenakan Covid-19. Mereka terdiri atas dokter, perawat, bidan, apoteker, Ahli Teknologi Laboratorium Media (ATLM), dan tenaga kesehatan lainnya. Pada 2021 saja, tercatat 71 tenaga kesehatan meninggal diakibatkan Covid-19. Dengan laju seperti itu, rata-rata setiap hari terdapat 5 tenaga kesehatan meninggal akibat Covid-19.

Ketiga profesi yang paling banyak gugur adalah dokter, perawat, dan bidan dengan angka kematian berturut-turut 267, 199, dan 83 orang. Sementara berdasarkan sebaran tempat kerja, rumah sakit, puskesmas, dan universitas menjadi tempat kematian tenaga kesehatan paling banyak dengan masing-masing 280, 108, dan 53 kasus kematian. Berdasarkan provinsi, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Jawa Barat menjadi wilayah-wilayah dengan kematian tenaga kesehatan tertinggi berturut-turut dengan 184, 86,77, dan 62 kasus.

Pada akhirnya, meningkatnya jumlah keterisian kamar rumah sakit bukanlah hal yang mengada-ada. Publik merasakan ini semenjak lama. Situasi ini perlu dihindari untuk mencegah kematian pasien ataupun tenaga kesehatan.

Saat ini, meningkatkan kepatuhan 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, menggunakan masker) serta meningkatkan kapasitas 3T (test, trace, isolate) adalah hal krusial. Di saat bersamaan, puskesmas juga perlu dikuatkan untuk mencegah penumpukan pasien di rumah sakit. Strategi ini terkesan sederhana, namun bila diterapkan dengan serius mampu berikan dampak besar dalam menjaga sistem kesehatan nasional berdiri tegak

 

Tentang CISDI

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah think tank yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.

 

Penulis

 

Amru Sebayang

1,049 Pengunjung
Share This!